Rabu, 30 Juni 2010

Perbedaan

"Nggak bisa kalian berdua itu beda!"
Aaaah kata-kata itu terus terngiang di kepalaku! Kenapa harus sekarang? Kenapa ga di awal hubunganku dengan Odilia. Aku cinta dia, apa itu sulit untuk di mengerti???

Odilia adalah kekasihku selama 16 bulan ini, mungkin ia memang bukan yang pertama untukku namun ia yang memberi kesan indah di antara yang lain.

Awalnya ia hanyalah seorang adik untukku, tak pernah terbesit di pikiranku untuk menjadikannya kekasihku. Namun ternyata nasib berkata lain, aku jatuh cinta padanya.

Di kencan pertama kami, aku mengantarnya pulang dan disitulah aku berkenalan dengan orang tuanya. Aku tidak berharap banyak, sekedar orang tuanya mau memberiku seulas senyum saja, sudah lebih dari cukup untukku. Namun Tuhan bermurah hati padaku, orang tuanya menyukaiku dan menyetujui hubungan kami.

Berkunjung ke rumahnya, pergi jalan-jalan dengannya adalah hal yang selalu aku tunggu-tunggu. Mendengar tawanya suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Dan yang paling indah adalah, getar-getar saat aku pertama kali menciumnya. Aku jatuh cinta dan sungguh aku tak ingin mengakhirinya.

Namun ternyata cobaan menerpa. Hari itu salah seorang saudaraku menikah, kebetulan pasangannya berbeda ras dengan keluarga kami yang mayoritas adalah chinese. Dan terjadi sedikit masalah saat itu. Awal semua masalah itu bermula dari sini....

Orang tuaku mengeluarkan ultimatum bahwa aku tidak boleh memiliki kekasih apabila tidak seagama, tidak se-ras, tidak pintar dan tidak bisa diajak susah. Aku merasa tersambar petir saat itu, Odilia tidak satu ras denganku! Aku berusaha untuk membuat kedua orang tuaku mengerti, namun apapun argumen yang aku keluarkan, ditepis begitu saja. Mereka tetap pada pendiriannya, hubunganku dengan Odilia harus berakhir. Aku mulai putus asa.........

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi di antara kami. Odilia selalu menangis dan aku kesal! Ya aku marah dengan keadaan yang ada! Kenapa orang tuaku tidak mencoba untuk mengerti keadaanku! Kenapa kebahagiaan yang aku coba tata harus hancur begitu saja?? Aku juga tidak bisa melawan lebih jauh, karena aku terbiasa untuk menuruti setiap kata-kata orang tuaku.

Sempat terpikir di benakku untuk mengakhiri saja hubungan ini dan membahagiakan kedua orangtuaku, namun ternyata rasa egoisku menang, aku tak mampu untuk pergi dari Odilia, aku membutuhkannya dan aku tak bisa melihat air matanya jatuh, tidak sungguh aku tak sanggup.....

Ya disinilah aku berdiri sekarang. Di antara kebimbangan dan ketidak pastian arah. Aku terjebak diantara dua kutub yang sama-sama aku cintai. Aku hanya bisa menunggu dan berharap Tuhan akan menjadi penengah dan memberikan yang terbaik untukku....

Aku Kamu dan Dia

Lagi-lagi aku terbangun di kegelapan malam. Sepertinya hal ini sudah menjadi rutinitasku sehari-hari. Ya sejak aku kehilangan dia semuanya menjadi berbeda! Dia yang telah menemaniku selama 3 tahun ini hilang begitu saja.

Pagi menyongsong, mentari juga bersinar cerah namun sepertinya keadaan alam tak sejalan dengan suasana hatiku. Hari ini Rahman berjanji untuk datang ke rumahku, aku sudah tau kenapa ia datang ke rumahku hari ini.

Begitu ia datang aku langsung masuk ke mobilnya. Ia langsung mencurahkan semua isi hatinya, ya apalagi kalau bukan tentang kekasihnya, Fitri. Fitri yang cuek, Fitri yang tak pernah peduli kepadanya, Fitri yang tidak mengerti dirinya. Aku mendengarkan dengan seksama dan memberi saran sebisaku. Kadang aku tak mengerti kenapa kamu tetap bertahan bersama Fitri kalau itu hanya membuatmu sakit?

Sebenarnya Rahman adalah mantan kekasihku, dialah yang membuat hidupku berantakan akhir-akhir ini. Namun semuanya salahku juga, aku menjalin hubungan dengan Putra dan meninggalkannya. Ketika aku sadar bahwa aku salah langkah, semuanya sudah terlambat.

Hari-hariku dipenuhi dengan cerita Rahman dengan Fitri, aku lelah dan aku sakit karena ceritanya. Namun cinta menahanku tetap disana menemaninya. Aku berusaha untuk selalu tersenyum mendengar setiap ceritanya. Walau rasanya ingin aku teriak "Hei disini ada aku yang selalu ada untukmu!!".

Hari ini aku menemani Rahman ke sebuah mall, namun anehnya hari ini tak ada nama Fitri terucap. Begitu tiba di parkiran, Rahman menahan langkahku.
"Ar, aku mau ngomong." Ucapnya
"Ada apa?" Tanyaku
Lalu dia diam dan hanya memandang wajahku, tanpa ku duga ia menggenggam tanganku.
"Aku sayang kamu Ar, aku sadar cuma kamu yang bisa mengerti aku. Kamu mau menungguku dan memberiku kesempatan?"
Aku terpaku dengan kata-kata Rahman. Aku bersorak kegirangan karena ternyata selama ini perasaanku terbalas, namun serendah itukah aku sehingga merelakan diriku menjadi pihak ke 3 dalam suatu hubungan?

Namun ternyata rasa egoku menang. Aku menyetujuinya dan ya jadilah aku pihak ke 3 dari hubungan Rahman dan Fitri. Namun ternyata hal ini tidak berlangsung lama, ya memang suatu hal yang salah maka akan berakhir dengan cepat. Rahman memutuskan ingin mencoba setia dan menerima seperti apapun Fitri. Apakah aku marah? Tidak aku hanya tersenyum dan mendukungnya walau hatiku mati rasa dibuatnya.

Aku sempat menjauh dari Rahman, aku ingin sembuh dan mulai bosan dengan keadaan ini. Berulang kali Rahman menghubungiku namun aku selalu menghindar.

Hari itu Rahman datang ke sekolahku tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia mengajakku pergi dan dia memintaku kembali. Namun saat itu ia masih bersama Fitri, Ia memintaku bersabar dan ya lagi-lagi rasa egoku menang.

Hari-hariku sebagai orang ke tiga tidaklah mudah. Setiap aku pergi bersama Rahman harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, aku harus menahan cemburu setiap membaca smsnya dan yang paling aku benci adalah statusnya saat itu!

Aku mulai mendesak Rahman untuk memberiku batas waktu, karena aku tidak bisa untuk terus menunggu seperti ini! Aku lelah bosan dan merasa hina menjadi pihak ke tiga! Namun Rahman tak juga bisa memberiku kejelasan.

Suatu hari bunda memanggilku dan bertanya tentang hubunganku dengan Rahman. Ternyata bunda tahu dan merasa terhina putrinya rela menjadi pihak ke tiga. Bunda melarangku untuk berhubungan lagi dengannya, namun aku tak kuasa.

Ku ceritakan apa yang ku alami, Rahman diam seribu bahasa namun ia berjanji untuk secepatnya memilih. Aku sedikit takut dengan keputusannya nanti. Akankah aku yang dipilihnya? Atau lagi-lagi aku yang akan terbuang?